Menggunakan anting merupakan salah satu identitas untuk seorang perempuan. Termasuk untuk perempuan yang juga masih bayi. Kemarin, saya menemani Nuha bayi perempuan saya yang berusia 16 bulan ke bidan untuk tindik anting yang kedua kalinya. Dulu sebenarnya sudah pernah ditindik ketika usia satu bulanan. Tapi, antingnya lepas sekitar bulan April-Mei, satu-persatu. Mau dipasangkan lagi tapi bayiku ggak bisa diem, jadi ggak pas terus di lubang telinganya. Dipasang ketika tidurpun berasa, gerak-gerak bahkan sampai terbangun dari tidurnya. Situasi pandemic ini membuat banyak pertimbangan untuk sekedar pergi ke bidan.
Sekitar empat bulanan anak saya tidak menggunakan anting. Waktu yang cukup lama yang dapat membuat lubang anting di telinga jadi menutup kembali. Pertimbangan harus ditindik lagi membuat saya langsung terbayang akan tangisan bayiku. Tindikan pertama diusia satu bulanan dulu, saya tidak berani memeganginya, bahkan saya tunggu di luar ruangan bidan. Bapaknyalah yang memegangi Nuha di dalam. Saya membayangkan betapa anak saya harus menahan sakit ketika telinganya ditindik itu.
Hal itupun terjadi lagi saat hendak ditindik yang kedua kalinya. Ketika masih di rumah, tubuhku berasa lemas tak berdaya. Saya bilang ke suami, nanti dia saja yang memegangi Nuha lagi, saya takut ggak ada tenaga. Sambil setengah uring-uringan, saya memantapkan hati untuk pergi ke bidan. Sebab awalnya masih ada keraguan, tapi akhirnya suami menenangkan dan meyakinkan saya untuk tidak mengcancel yang kesekian kalinya.
Kamipun bertiga pergi ke bidan. Di jalan saya banyak berdoa memohon kepadaNya agar dimudahkan prosesnya. Sesampainya di bidan, sempat antri beberapa orang terlebih dahulu. Tidak lama kemudian masuk ruangan, kami menyampaikan maksud kedatangan dan bidanpun langsung memeriksa kondisi bekas lubang tindikan telinganya Nuha. Bidan bilang kalau bekas tindikannya biasanya masih ada, hanya saja tertutup oleh kotoran.
Nuha masih berada di pangkuanku, namun ia sudah mulai ketakutan. Memelukku dengan erat dan menunjuk-nunjuk ke arah pintu keluar. Bidan yang dibantu asistennya memasukkan anting yang dibawa dari rumah dan Alhamdulillah langsung berhasil masuk dipasangkan. Nuha menangis teriak-teriak menjerit, sambil tubuhnya melawan. Kepalanya menggeleng-gelengkan sehingga perlu sedikit paksaan. Disitu saya mulai ggak tega tapi ditega-tegain agar prosesnya cepat.
Anting ditelinga kanan sudah berhasil dipasang. Namun giliran telinga kiri sulitnya minta ampun, ntah apa faktornya. Berulang kali dicoba namun tidak berhasil. Sampai antingnya itu bengkok-bengkok. Bidan bilang ngeri patah. Lalu bekas tindikan sebelumnya bidan lubangi lagi, saya ggak tau itu pakai apa. Tapi tetap saja antingnya tidak mau masuk. Bidan sampai hampir menyerah, Nuha saya beri ASI dengan cara DBF. Sambil sesegukan, sungguh kasihan lihatnya. Tapi saya tetap menguatkan diri dan menguatkan Nuha. The power of ibunya keluar juga hahahha.
Bidan menawarkan apakah mau dicoba pakai anting darinya, namanya anting tembak. Saya dan suami saling menatap dan mengiyakan tawaran bidan. Bidan pun mengambil anting dan alat tembaknya. Sekitar 2-3 kali dicoba dipasangkan ditelinga Nuha Alhamdulillah berhasil juga. Bidannya bilang kalau warna dari antingnya bisa bertahan sampai setahun.
Akhirnya, Nuha berhasil juga pakai anting lagi setelah sekian lama. Walau anting kanan-kirinya berbeda. Semoga dalam waktu dekat ini bisa disamakan anting kanan-kirinya. Dan saya baru tahu kalau di bidan menyediakan anting juga, harganya murah pula. Hanya Rp. 40.000,- sudah terima pasang. Tapi ntah ya di bidan lain menyediakan juga atau ggaknya, dan belum tau juga harganya berapa. Mungkin bisa ditanyakan dulu sebelumnya di bidan yang akan ibu-ibu tuju.
Sekian cerita dari saya, Insya Allah ggak ada lagi yang tanya anaknya laki-laki apa perempuan.
Komentar
Posting Komentar